
Bicara tentang menua di Indonesia, seorang dokter yang tidak ingin disebutkan namanya bercerita bahwa ada yang berubah saat dia iseng bertanya pada seorang ibu yang baru pertama kali melahirkan tentang berapa jumlah anak yang diinginkan. Jika dulu mayoritas hanya akan tersenyum dan tersipu sambil menjawab ‘terserah suami’ atau jawaban-jawaban senada, maka jawaban yang belakangan kerap dia dapatkan — meski tetap sambil tersipu, adalah ‘dua anak saja’. Sebagai seorang dokter, hal ini ‘menggembirakan’ karena bisa jadi program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan sejak akhir tahun 70-an oleh Pemerintah, mulai menampakkan hasil. Menggembirakan, karena bisa jadi, kita sudah boleh bermimpi untuk bahagia menua di Indonesia.
Benarkah demikian? Ternyata tidak juga. Kita belum tentu bisa hidup selama itu, belum tentu bisa menua di Indonesia. Karena jawaban tersebut ternyata tidak sejalan dengan data terakhir total fertility rate (TFR) di Indonesia. Di negeri ini, TFR berkisar antara 2.28, masih cukup tinggi jika dibandingkan Jepang dengan TFR 1.26, bahkan Korea Selatan lebih rendah yakni 0.72. Rerata negara di Eropa berkisar 1.38. Meski memang negara-negara Afrika masih lebih tinggi dengan kisaran di atas 4.
Begitu juga dengan data dari Badan Pusat Statistik tentang persentase wanita berumur 15-49 tahun dan berstatus kawin yang sedang menggunakan/memakai alat KB, angka totalnya 66,10% di 2023, meningkat sedikit dari 59.98% pada 2015. Dari angka total tersebut sendiri, sebarannya pun tidak merata, tercatat di 2022 propinsi tertinggi berada di Provinsi Lampung (66,06%) dan Bangka Belitung (61,85%) dan angka terendah ada di Papua dengan tak sampai sepertiga yakni 27%. Estimasi jumlah penduduk juga menunjukkan bahwa hingga tahun 2035, diperkirakan negara ini akan dihuni oleh ±305.652.400 dari jumlah tahun 2015 yakni ±255.461.700. Dari jumlah tersebut, berapakah yang akan sanggup menua di Indonesia?
Jumlah tersebut tentu sebenarnya merupakan sumber daya manusia yang luar biasa jika diberdayakan dengan baik dan benar oleh Pemerintah. Namun berkaca dari pengalaman sebelumnya, peningkatan jumlah penduduk ini kerap justru dianggap sebagai masalah karena tidak diiringi dengan kualitas sumber daya manusia tersebut. Sehingga alih-alih berdaya guna, generasi tersebut malah jadi beban. Tercatat jumlah penduduk miskin mencapai 23,85 juta orang Maret 2025 yang lalu. Angka ini bahkan bisa lebih tinggi jika menggunakan kriteria kemiskinan dari Bank Dunia yang bahkan menyatakan di tahun 2024 lalu, lebih dari 60% penduduk negeri ini hidup dalam kemiskinan. Padahal jika ditinjau dari kurva demografis sebaran usia, Indonesia sebenarnya punya potensi besar dengan lebih dari setengah jumlah penduduknya masih berusia di bawah 30 tahun, dan hanya sekitar 11% berusia di atas 65 tahun ke atas.
Namun sumber daya ini tak akan berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan kesadaran akan ancaman krisis populasi yang telah melanda beberapa negara maju dengan TFR rendah. Kebijakan pengendalian kelahiran hendaknya tidak sekedar bertujuan untuk menekan lonjakan angka penduduk namun lebih kepada penekanan lahirnya generasi-generasi bangsa yang ‘sakit’. Karena jika tidak, kita akan ikut terjebak dalam krisis kehilangan generasi akibat tak adanya lagi keinginan untuk memiliki banyak keturunan. Didukung dengan angka harapan hidup yang makin tinggi, bukan tidak mungkin, masalah yang negara-negara luar tersebut hadapi, akan terjadi di negeri ini, jika kita tak bijak dalam mengambil langkah pemecahan masalah lonjakan jumlah penduduk.
Kembali pada pertanyaan semula, dengan derasnya aliran arus liberalisme, hedonisme, dan sekularisme yang melanda negeri ini, pernikahan memang tak lagi dipandang sebagai sarana yang sejati untuk meneruskan keturunan dan memenuhi kebutuhan biologis dengan jalan yang diridhai oleh Allah SWT, melainkan hanya sebagai alternatif tujuan hidup atau sekedar check point dari berbagai tujuan hidup yang sebagian besar berkisar pada kenikmatan duniawi. Terlebih saat kini pergaulan semakin bebas, generasi muda sudah tak lagi menginginkan pernikahan karena mereka telah bisa mendapatkan pemuasan nafsu seksualnya tanpa harus menikah secara sah.
Selain masalah tersebut, tingginya angka remaja yang melakukan hubungan seksual dini, kehamilan di luar nikah, aborsi, dan penggunaan obat-obatan terlarang tentu jadi tanda tanya tentang sejauh mana sebenarnya keberhasilan kita dalam menghasilkan generasi sehat penerus bangsa.
Di dalam Islam, terdapat banyak ajaran tentang pergaulan laki-laki dan perempuan, misalnya ajaran pemisahan kehidupan antara laki-laki dan perempuan di luar wilayah umum, maupun aturan tentang menutup aurat, ini semua telah dilakukan sejak dini di bingkai pendidikan dalam keluarga. Jika langkah-langkah seperti ini telah dilaksanakan dengan luas, seharusnya tidak perlu lagi ada kebingungan tentang kapan pendidikan seks diajarkan, atau tentang pakaian yang layak digunakan di ruang publik. Begitu pula tentang kesehatan reproduksi, bukankah Nabi SAW sendiri telah mengajarkan dalam haditsnya bahwa wanita itu biasa dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena kemuliaan keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, maka, pilihlah yang beragama, karena kalau tidak niscaya engkau akan merugi” (HR. Bukhari No. 5090, Muslim No. 1466).
Lebih dari itu, kita tahu masalah yang dihadapi bangsa ini lebih dari ‘sekadar’ jumlah populasi yang melonjak, atau angka kemiskinan yang naik, atau capaian kesehatan yang masih rendah, namun keterkaitan poin-poin tersebut yang hanya bisa diselesaikan dengan suatu solusi yang bersifat sistemik pula. Selain pendidikan dan sistem kesehatan yang benar, diperlukan upaya pencegahan yang tegas dari Pemerintah dalam membendung arus liberalisasi dan sekularisasi di negeri ini.
Tidak bisa tidak, perlu aturan-aturan yang lebih tepat dalam menyasar akar permasalahan lonjakan jumlah penduduk di negara ini, bukan sekedar mengurangi angka kelahiran tentunya. Hingga kelak, seorang dokter tak lagi merasa sungkan untuk ‘menasihati’ kala pasiennya merasa ‘takut’ untuk punya anak lebih dari dua. Hingga nanti, kita semua tidak akan perlu ragu dan bimbang lagi, untuk sama-sama menua di Indonesia, Bumi Allah SWT.
