
Islam adalah agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Kesempurnaan ini mencakup hubungan manusia dengan Allah (hablun min Allah), dengan sesama manusia (hablun min an-nas), dan dengan diri sendiri (hablun min nafs). Ketiga dimensi tersebut saling terkait dan menuntut keseimbangan, yang pada dasarnya merupakan inti dari kesehatan mental dalam pandangan Islam.
Allah SWT telah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Ayat ini menegaskan bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam diri termasuk dalam hal kestabilan dan kesehatan mental. Sebagaimana juga telah dikatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin: “Kebahagiaan sejati tidak diperoleh dengan kenikmatan tubuh, melainkan dengan kesucian hati dan cahaya akal yang mengenal Tuhannya.”
Krisis Kedewasaan Mental dan Normalisasi Penyakit Jiwa
Sayangnya, di tengah kehidupan modern, kesehatan mental seringkali dinomorduakan. Tidak semua orang menganggap kedewasaan berpikir, ketenangan hati, dan pengelolaan emosi sebagai hal yang penting. Muncullah fenomena yang mengkhawatirkan yaitu normalisasi karakter negatif: orang pemarah dianggap tegas, tabiat pendendam dianggap berprinsip, iri hati dianggap kompetitif, bahkan curiga dianggap waspada. Padahal, hampir semua itu berakar dari gangguan keseimbangan batin dan kurangnya kesehatan mental.
Rasulullah SAW pernah bersabda: “Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam gulat, melainkan orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menggambarkan bahwa kendali diri merupakan bagian penting dari kesehatan mental dan termasuk ukuran kekuatan sejati seorang Muslim. Marah, dengki, atau curiga tanpa sebab rasional bukan sekadar “sifat manusiawi”, tetapi tanda bahwa seseorang perlu memperbaiki hubungannya dengan Allah dan dirinya sendiri. Dalam perspektif Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, penyakit hati lebih berbahaya daripada penyakit tubuh: “Sakit hati jauh lebih berat daripada sakit badan. Sebab bila hati sakit, seseorang tidak mengenali kebenaran, tidak mencintai kebaikan, dan tidak membenci keburukan.” (Ighatsah al-Lahfan) Sifat-sifat seperti marah, dengki, dan curiga sebenarnya merupakan gejala dari nafs yang belum terdidik. Bila dibiarkan, ia dapat merusak hubungan sosial, melemahkan iman, dan menjauhkan seseorang dari ketenangan batin (nafs al-muthmainnah).
Konsep Kesehatan Mental dalam Islam
Dalam Islam, jiwa (nafs) memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan kondisi mental-spiritual seseorang:
- Nafs Ammarah bis Su’ (jiwa yang selalu memerintahkan pada kejahatan). Ini adalah tahap seseorang dikuasai hawa nafsu dan emosi negatif. Allah berfirman: “Sesungguhnya nafsu itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf: 53)
- Nafs Lawwamah (jiwa yang menyesali kesalahan). Tahapan di mana seseorang mulai sadar atas kesalahannya dan berusaha memperbaiki diri. Allah bersumpah atas jiwa ini dalam QS. Al-Qiyamah: 2, menunjukkan pentingnya introspeksi diri.
- Nafs Muthmainnah (jiwa yang tenang). Inilah puncak kesehatan mental. Jiwa yang stabil, ikhlas, dan damai dengan takdir Allah. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya.” (QS. Al-Fajr: 27–28)
Kesehatan mental dalam Islam tidak hanya tentang bebas dari stres atau depresi, tetapi tentang keseimbangan antara akal, hati, dan ruh, antara dunia dan akhirat, antara usaha dan tawakal. Imam Al-Mawardi dalam Adab ad-Dunya wa ad-Din menyebut: “Apabila akal bekerja sesuai hikmah dan hawa nafsu tunduk pada syariat, maka lahirlah akhlak yang menenangkan hati dan menyehatkan jiwa.” Artinya, kesehatan mental lahir dari keseimbangan antara akal, syariat, dan kendali diri.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya.” (QS. Al-Fajr: 27–28)
Kedewasaan Mental dan Kepemimpinan Dakwah
Dalam konteks dakwah, kedewasaan mental menjadi syarat mutlak bagi seorang pemimpin atau pendakwah. Seorang da’i, pemimpin, atau siapa pun yang membawa amanah umat harus memiliki quwwah an-nafs — kekuatan jiwa yang stabil dan berorientasi pada kebenaran. Imam Al-Ghazali memperingatkan: “Barang siapa menyeru kepada Allah tanpa memperbaiki jiwanya, maka dakwahnya menjadi sebab kehancurannya sendiri.” Misalnya, seorang dai yang memiliki kedewasaan mental tidak akan:
- Menyepelekan utang karena ia sadar akan tanggung jawab moral di hadapan Allah.
- Menggunakan uzur non-syari untuk meninggalkan kewajiban dakwah, sebab ia paham nilai amanah.
- Menghindari kritik atau koreksi, karena ia tahu bahwa introspeksi adalah bagian dari pertumbuhan spiritual. Rasulullah SAW mencontohkan kestabilan mental luar biasa dalam menghadapi tekanan. Ketika beliau dihina, dicaci, bahkan dilempari batu, beliau tidak membalas dengan amarah, melainkan dengan doa: “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari)
- Merasa “lega” ketika lalai dari tanggung jawab dakwah.
Ketenangan dan kedewasaan ini menjadi teladan utama dalam kepemimpinan Islam, bahwa kekuatan spiritual dan mental harus berjalan seiring.
Peran Negara Islam dalam Menjaga Kesehatan Mental
Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan masyarakat, termasuk dalam aspek mental. Negara tidak hanya menjamin kebutuhan fisik rakyatnya (pangan, pendidikan, kesehatan), tetapi juga kesejahteraan psikologis dan spiritual. Para ulama politik klasik seperti Al-Mawardi dan Ibn Khaldun menegaskan bahwa kesejahteraan jiwa masyarakat bergantung pada keadilan penguasa. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menulis: “Keadilan adalah fondasi kekuasaan; bila ia hilang, maka masyarakat akan rusak dan jiwa manusia diliputi keresahan.”
Beberapa contoh dari prinsip yang dapat dijalankan oleh negara Islam terkait kesehatan mental antara lain:
- Pendidikan berbasis tauhid, agar manusia tumbuh dengan pemahaman yang utuh tentang tujuan hidup.
- Lingkungan sosial yang sehat, dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan mencegah budaya hedonisme atau permusuhan.
- Sistem keadilan dan pemerataan ekonomi, agar tidak muncul tekanan batin akibat kesenjangan sosial.
- Pelayanan kesehatan yang mencakup dimensi ruhani, bukan hanya fisik, sehingga orang yang stres atau tertekan mendapatkan bimbingan spiritual yang sesuai.
- Negara Islam bukan sekadar mengatur hukum, tetapi juga menciptakan ekosistem ketenangan jiwa, di mana setiap individu merasa aman, dihargai, dan dekat dengan Tuhan.
Peran Individu: Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Tekanan
Dalam konteks sekarang, ketika sistem Islam belum tegak sepenuhnya, setiap Muslim memiliki peran untuk menjaga kesehatan mentalnya sendiri. Ibn Al-Qayyim dalam Al-Fawaid menulis: “Barang siapa yang hatinya sibuk dengan Allah, maka Allah akan mencukupi segala urusannya. Barang siapa sibuk dengan dunia, maka dunia akan menyibukkannya hingga ia lelah tanpa hasil.”
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjaga ketenangan batin:
- Menjaga hubungan dengan Allah melalui dzikir, doa, dan tilawah. “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
- Bersegera melaksanakan syariat (al-musara‘ah fi al-khair), karena jiwa yang sehat tidak menunda ketaatan. Penundaan amal kebaikan menumpulkan semangat dan membuka jalan bagi kelalaian.
- Menerapkan sikap qana‘ah (cukup) dan syukur, agar tidak mudah iri terhadap orang lain.
- Bergaul dengan orang saleh dan menjauh dari lingkungan toksik yang menumbuhkan iri, dengki, dan keluh kesah.
- Menyadari bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan, dan tidak semua hal bisa dikendalikan. “Tidak ada musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghabun: 11)
Dengan prinsip-prinsip ini, seorang Muslim bisa tetap tenang meski hidup penuh tekanan. Ia sadar bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari skenario Allah untuk mendewasakan jiwa. Ia juga akan menyadari bahwa kesehatan mental bukan sekadar stabilitas emosional, tetapi kesiapan untuk berjuang dengan kesadaran penuh bahwa hidup ini adalah amanah dari Allah. Maka, seseorang yang lalai dari dakwah atau menyepelekan tanggung jawab syar’i sebenarnya sedang melemahkan nafsiyah-nya.
Penutup
Kesehatan mental dalam Islam bukan sekadar istilah psikologis, melainkan bagian dari akidah dan akhlak. Sehat mental berarti sadar akan tanggung jawab hidup di hadapan Allah, mampu mengendalikan emosi, berpikir jernih, dan tetap istiqamah dalam kebenaran meski dunia menekan dari segala sisi. Kesehatan mental dalam Islam tidak berdiri sendiri. Ia adalah buah dari iman, akhlak, dan sistem sosial yang adil.
Dalam pandangan Al-Ghazali dan Ibn Qayyim, jiwa yang sehat adalah jiwa yang mengenal Allah, jiwa yang kuat adalah jiwa yang siap menegakkan syariat. Dalam pandangan para ulama klasik, masyarakat yang damai adalah hasil dari pemimpin yang adil. Maka, ketika seseorang menjaga kesehatannya, bukan hanya fisik tapi juga mental dan spiritual, sejatinya ia sedang menjalankan perintah Allah untuk menjadi khalifah fil ardh yang seimbang, kuat, dan penuh kasih. “Sesungguhnya orang-orang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah, ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Wallahu a’lam bishawab.
“Tidak ada musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghabun: 11)

Pingback: Mengajarkan Integritas pada Anak dalam Islam - Ketik Kata