Mengajarkan Integritas pada Anak dalam Islam

Anak: Investasi Terbesar Peradaban

Anak adalah amanah dan aset masa depan. Mereka bukan hanya milik keluarga, tetapi juga milik umat dan negara. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Karenanya, salah urus persoalan anak, termasuk dalam hal mengajarkan integritas, bukan sekadar kesalahan individu, tetapi ancaman terhadap keberlanjutan generasi.

Sejarah menunjukkan, bangsa yang gagal mendidik anak-anaknya akan kehilangan arah peradaban. Kita bisa belajar dari contoh kejatuhan peradaban besar—baik Yunani, Romawi, maupun Andalusia—yang hilang kejayaannya bukan karena lemah militernya, tetapi karena moral dan kejujuran sosial mereka runtuh. Sebaliknya, kejayaan Islam di masa klasik justru lahir dari sistem pendidikan dan pembinaan generasi yang menekankan nilai iman, ilmu, dan integritas.

Integritas: Pondasi Akhlak dan Peradaban

Salah satu persoalan terbesar dalam pendidikan anak hari ini adalah hilangnya nilai integritas, yaitu kesatuan antara ucapan, tindakan, dan hati. Banyak anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan kepintaran, tapi tidak menanamkan kejujuran dan tanggung jawab. Akibatnya, kita melahirkan generasi yang mungkin berpendidikan tinggi, tapi rapuh nilai. Mereka pandai berhitung, tapi tidak jujur dalam laporan. Mereka hafal teori, tapi mudah menyeleweng ketika sistem mendukungnya. Mereka tidak lagi berpikir dalam kerangka halal dan haram, tapi dalam kerangka untung dan rugi.

Padahal, Rasulullah SAW menegaskan dalam hadisnya bahwa “Tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat lain: “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang jujur, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi). Artinya, kejujuran dan integritas bukan sekadar nilai moral, tapi pilar iman.

Mari kita lihat realitas di sekitar: bagaimana praktik riba menjadi hal normal, padahal Allah telah mengumumkan perang terhadapnya (QS. Al-Baqarah: 279). Bagaimana orang dengan mudah menggadaikan SK pegawai untuk pinjaman konsumtif, atau merasa bangga mendapatkan posisi karena ‘orang dalam’, bukan karena kompetensi.

Semua ini menunjukkan adanya krisis cara berpikir, bukan semata krisis ekonomi. Sebuah tanda bahwa pendidikan iman dan mengajarkan integritas belum benar-benar menjadi prioritas.

Cara Berpikir dalam Islam: Landasan Integritas

Dalam Islam, berpikir bukan sekadar proses logis atau ilmiah. Islam memandang akal sebagai alat untuk memahami fakta yang terindera (al-waqi‘), menggunakan panca indera (hawas), memproses dengan otak yang sehat, dan menghubungkannya dengan maklumat sabiqah—pengetahuan terdahulu.

Maklumat terdahulu ini mencakup wahyu: Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah pembeda utama antara berpikir Islami dan berpikir sekuler.

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa; lalu Dia memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl: 78)

Sebagaimana pesan Imam Al-Ghazali: “Hakikat ilmu bukanlah sekadar mengetahui, tetapi takut kepada Allah dengan apa yang diketahui.” (Ihya’ Ulumuddin). Berpikir dalam Islam tidak berhenti pada rasionalitas, tetapi diarahkan untuk mengenali Allah dan menilai segala sesuatu dengan standar halal dan haram. Maka, integritas bukan sekadar jujur pada manusia, tapi juga jujur pada Allah.

Ketika anak dibiasakan berpikir dengan standar halal-haram sejak kecil, ia akan tumbuh dengan kompas moral yang stabil. Ia tidak akan tergoda oleh jabatan, uang, atau pujian, karena dalam pikirannya, yang paling penting hanyalah ridha Allah.

Tanggung Jawab Keluarga, Masyarakat, dan Negara

Isu pendidikan bukan tanggung jawab individu semata. Orang tua, masyarakat, dan negara memiliki peran saling terkait. Jika sistem pendidikan sekuler menanamkan logika ‘bebas nilai’, maka keluarga Muslim harus menjadi benteng terakhir untuk menanamkan logika wahyu.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6)

Orang tua memegang peran pertama: menjadi teladan integritas. Anak lebih mudah meniru perilaku daripada mendengar nasihat. Jika ayahnya mudah berbohong, atau ibunya menormalisasi tipu kecil, jangan heran bila anak tumbuh tanpa kesadaran moral. Namun tanggung jawab tidak berhenti di rumah. Masyarakat juga berperan membentuk ekosistem nilai. Bila kejujuran tidak dihargai, dan pelaku kecurangan justru dimuliakan, anak akan menganggap korupsi sebagai kewajaran sosial. Dan akhirnya, negara harus hadir dengan sistem pendidikan dan ekonomi yang adil. Tanpa kebijakan yang mendukung keimanan dan moralitas, perjuangan keluarga akan kehabisan tenaga. Ibn Khaldun memperingatkan ini dalam Muqaddimah: “Kerusakan akhlak rakyat adalah cermin dari kerusakan penguasanya. Bila penguasa baik, maka masyarakat akan meneladaninya.”

Negara Islam di masa lalu memahami hal ini. Pendidikan tidak hanya fokus pada sains dan administrasi, tetapi juga pada pembentukan akhlak dan aqidah. Anak-anak diajarkan bahwa setiap tindakan diawasi oleh Allah, bahkan ketika tidak ada manusia yang melihat, dan inilah bentuk mengajarkan integritas dalam Islam.

Menanamkan Iman dan Kesadaran Sebagai Hamba

Islam menekankan bahwa keimanan bukan hafalan, tapi kesadaran. Pendidikan iman harus mengakar pada pemahaman hubungan antara hamba dan Pencipta. “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Dengan pemahaman ini, anak diajarkan bahwa setiap aktivitas seperti belajar, bekerja, bersosialisasi—semuanya adalah ibadah bila diniatkan untuk Allah. Ia akan memahami bahwa dunia bukan tujuan akhir, tapi jalan menuju ridha Allah. Maka pendidikan sejati bukan sekadar mencerdaskan otak, tetapi menjernihkan hati dan menegakkan niat. Inilah yang disebut oleh Ibn Qayyim sebagai tazkiyah an-nafs—penyucian jiwa—yang menjadi sumber integritas sejati.

Mengajarkan integritas pada anak bukan proses singkat. Ia membutuhkan keteladanan, kesabaran, dan sistem yang mendukung. Namun inilah investasi peradaban yang sesungguhnya. Ketika anak tumbuh dengan kesadaran bahwa setiap langkahnya diawasi Allah, ia tidak akan mudah tergoda oleh korupsi, penipuan, atau kesewenang-wenangan. Ia akan menjadi bagian dari generasi yang selanjutnya mengajarkan integritas dan generasi yang membangun kembali kejayaan Islam di atas dasar iman dan akhlak.

Penutup

Integritas adalah cermin iman. Ia tumbuh dari pendidikan yang menanamkan rasa takut kepada Allah dan cinta kepada kebenaran. Bila keluarga, masyarakat, dan negara sama-sama menegakkan nilai ini, maka insyaAllah lahirlah generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berjiwa pemimpin yang jujur, adil, dan berani menjaga amanah. Mendidik anak dengan integritas bukan pilihan, tetapi kewajiban strategis umat. Sebab di tangan merekalah masa depan Islam akan dibangun kembali, bukan dengan kekayaan, tapi dengan kejujuran dan iman. (HM)

    Kesehatan Mental dalam Islam

    Islam adalah agama yang sempurna, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Kesempurnaan ini mencakup hubungan manusia dengan Allah (hablun min Allah), dengan sesama manusia (hablun min an-nas), dan dengan diri sendiri (hablun min nafs). Ketiga dimensi tersebut saling terkait dan menuntut keseimbangan, yang pada dasarnya merupakan inti dari kesehatan mental dalam pandangan Islam.

    Allah SWT telah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11). Ayat ini menegaskan bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam diri termasuk dalam hal kestabilan dan kesehatan mental. Sebagaimana juga telah dikatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin: “Kebahagiaan sejati tidak diperoleh dengan kenikmatan tubuh, melainkan dengan kesucian hati dan cahaya akal yang mengenal Tuhannya.”

    Krisis Kedewasaan Mental dan Normalisasi Penyakit Jiwa

    Sayangnya, di tengah kehidupan modern, kesehatan mental seringkali dinomorduakan. Tidak semua orang menganggap kedewasaan berpikir, ketenangan hati, dan pengelolaan emosi sebagai hal yang penting. Muncullah fenomena yang mengkhawatirkan yaitu normalisasi karakter negatif: orang pemarah dianggap tegas, tabiat pendendam dianggap berprinsip, iri hati dianggap kompetitif, bahkan curiga dianggap waspada. Padahal, hampir semua itu berakar dari gangguan keseimbangan batin dan kurangnya kesehatan mental.

    Rasulullah SAW pernah bersabda: “Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam gulat, melainkan orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menggambarkan bahwa kendali diri merupakan bagian penting dari kesehatan mental dan termasuk ukuran kekuatan sejati seorang Muslim. Marah, dengki, atau curiga tanpa sebab rasional bukan sekadar “sifat manusiawi”, tetapi tanda bahwa seseorang perlu memperbaiki hubungannya dengan Allah dan dirinya sendiri. Dalam perspektif Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, penyakit hati lebih berbahaya daripada penyakit tubuh: “Sakit hati jauh lebih berat daripada sakit badan. Sebab bila hati sakit, seseorang tidak mengenali kebenaran, tidak mencintai kebaikan, dan tidak membenci keburukan.” (Ighatsah al-Lahfan) Sifat-sifat seperti marah, dengki, dan curiga sebenarnya merupakan gejala dari nafs yang belum terdidik. Bila dibiarkan, ia dapat merusak hubungan sosial, melemahkan iman, dan menjauhkan seseorang dari ketenangan batin (nafs al-muthmainnah).

    Konsep Kesehatan Mental dalam Islam

    Dalam Islam, jiwa (nafs) memiliki beberapa tingkatan yang menunjukkan kondisi mental-spiritual seseorang:

    • Nafs Ammarah bis Su’ (jiwa yang selalu memerintahkan pada kejahatan). Ini adalah tahap seseorang dikuasai hawa nafsu dan emosi negatif. Allah berfirman: “Sesungguhnya nafsu itu benar-benar menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf: 53)
    • Nafs Lawwamah (jiwa yang menyesali kesalahan). Tahapan di mana seseorang mulai sadar atas kesalahannya dan berusaha memperbaiki diri. Allah bersumpah atas jiwa ini dalam QS. Al-Qiyamah: 2, menunjukkan pentingnya introspeksi diri.
    • Nafs Muthmainnah (jiwa yang tenang). Inilah puncak kesehatan mental. Jiwa yang stabil, ikhlas, dan damai dengan takdir Allah. “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya.” (QS. Al-Fajr: 27–28)

    Kesehatan mental dalam Islam tidak hanya tentang bebas dari stres atau depresi, tetapi tentang keseimbangan antara akal, hati, dan ruh, antara dunia dan akhirat, antara usaha dan tawakal. Imam Al-Mawardi dalam Adab ad-Dunya wa ad-Din menyebut: “Apabila akal bekerja sesuai hikmah dan hawa nafsu tunduk pada syariat, maka lahirlah akhlak yang menenangkan hati dan menyehatkan jiwa.” Artinya, kesehatan mental lahir dari keseimbangan antara akal, syariat, dan kendali diri.

    “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya.” (QS. Al-Fajr: 27–28)

    Kedewasaan Mental dan Kepemimpinan Dakwah

    Dalam konteks dakwah, kedewasaan mental menjadi syarat mutlak bagi seorang pemimpin atau pendakwah. Seorang da’i, pemimpin, atau siapa pun yang membawa amanah umat harus memiliki quwwah an-nafs — kekuatan jiwa yang stabil dan berorientasi pada kebenaran. Imam Al-Ghazali memperingatkan: “Barang siapa menyeru kepada Allah tanpa memperbaiki jiwanya, maka dakwahnya menjadi sebab kehancurannya sendiri.” Misalnya, seorang dai yang memiliki kedewasaan mental tidak akan:

    • Menyepelekan utang karena ia sadar akan tanggung jawab moral di hadapan Allah.
    • Menggunakan uzur non-syari untuk meninggalkan kewajiban dakwah, sebab ia paham nilai amanah.
    • Menghindari kritik atau koreksi, karena ia tahu bahwa introspeksi adalah bagian dari pertumbuhan spiritual. Rasulullah SAW mencontohkan kestabilan mental luar biasa dalam menghadapi tekanan. Ketika beliau dihina, dicaci, bahkan dilempari batu, beliau tidak membalas dengan amarah, melainkan dengan doa: “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari)
    • Merasa “lega” ketika lalai dari tanggung jawab dakwah.

    Ketenangan dan kedewasaan ini menjadi teladan utama dalam kepemimpinan Islam, bahwa kekuatan spiritual dan mental harus berjalan seiring.

    Peran Negara Islam dalam Menjaga Kesehatan Mental

    Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan masyarakat, termasuk dalam aspek mental. Negara tidak hanya menjamin kebutuhan fisik rakyatnya (pangan, pendidikan, kesehatan), tetapi juga kesejahteraan psikologis dan spiritual. Para ulama politik klasik seperti Al-Mawardi dan Ibn Khaldun menegaskan bahwa kesejahteraan jiwa masyarakat bergantung pada keadilan penguasa. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menulis: “Keadilan adalah fondasi kekuasaan; bila ia hilang, maka masyarakat akan rusak dan jiwa manusia diliputi keresahan.”

    Beberapa contoh dari prinsip yang dapat dijalankan oleh negara Islam terkait kesehatan mental antara lain:

    • Pendidikan berbasis tauhid, agar manusia tumbuh dengan pemahaman yang utuh tentang tujuan hidup.
    • Lingkungan sosial yang sehat, dengan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan mencegah budaya hedonisme atau permusuhan.
    • Sistem keadilan dan pemerataan ekonomi, agar tidak muncul tekanan batin akibat kesenjangan sosial.
    • Pelayanan kesehatan yang mencakup dimensi ruhani, bukan hanya fisik, sehingga orang yang stres atau tertekan mendapatkan bimbingan spiritual yang sesuai.
    • Negara Islam bukan sekadar mengatur hukum, tetapi juga menciptakan ekosistem ketenangan jiwa, di mana setiap individu merasa aman, dihargai, dan dekat dengan Tuhan.

    Peran Individu: Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Tekanan

    Dalam konteks sekarang, ketika sistem Islam belum tegak sepenuhnya, setiap Muslim memiliki peran untuk menjaga kesehatan mentalnya sendiri. Ibn Al-Qayyim dalam Al-Fawaid menulis: “Barang siapa yang hatinya sibuk dengan Allah, maka Allah akan mencukupi segala urusannya. Barang siapa sibuk dengan dunia, maka dunia akan menyibukkannya hingga ia lelah tanpa hasil.”

    Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjaga ketenangan batin:

    • Menjaga hubungan dengan Allah melalui dzikir, doa, dan tilawah. “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
    • Bersegera melaksanakan syariat (al-musara‘ah fi al-khair), karena jiwa yang sehat tidak menunda ketaatan. Penundaan amal kebaikan menumpulkan semangat dan membuka jalan bagi kelalaian.
    • Menerapkan sikap qana‘ah (cukup) dan syukur, agar tidak mudah iri terhadap orang lain.
    • Bergaul dengan orang saleh dan menjauh dari lingkungan toksik yang menumbuhkan iri, dengki, dan keluh kesah.
    • Menyadari bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan, dan tidak semua hal bisa dikendalikan. “Tidak ada musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghabun: 11)

    Dengan prinsip-prinsip ini, seorang Muslim bisa tetap tenang meski hidup penuh tekanan. Ia sadar bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari skenario Allah untuk mendewasakan jiwa. Ia juga akan menyadari bahwa kesehatan mental bukan sekadar stabilitas emosional, tetapi kesiapan untuk berjuang dengan kesadaran penuh bahwa hidup ini adalah amanah dari Allah. Maka, seseorang yang lalai dari dakwah atau menyepelekan tanggung jawab syar’i sebenarnya sedang melemahkan nafsiyah-nya.

    Penutup

    Kesehatan mental dalam Islam bukan sekadar istilah psikologis, melainkan bagian dari akidah dan akhlak. Sehat mental berarti sadar akan tanggung jawab hidup di hadapan Allah, mampu mengendalikan emosi, berpikir jernih, dan tetap istiqamah dalam kebenaran meski dunia menekan dari segala sisi. Kesehatan mental dalam Islam tidak berdiri sendiri. Ia adalah buah dari iman, akhlak, dan sistem sosial yang adil.

    Dalam pandangan Al-Ghazali dan Ibn Qayyim, jiwa yang sehat adalah jiwa yang mengenal Allah, jiwa yang kuat adalah jiwa yang siap menegakkan syariat. Dalam pandangan para ulama klasik, masyarakat yang damai adalah hasil dari pemimpin yang adil. Maka, ketika seseorang menjaga kesehatannya, bukan hanya fisik tapi juga mental dan spiritual, sejatinya ia sedang menjalankan perintah Allah untuk menjadi khalifah fil ardh yang seimbang, kuat, dan penuh kasih. “Sesungguhnya orang-orang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah, ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

    Wallahu a’lam bishawab.

    “Tidak ada musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.” (QS. At-Taghabun: 11)

    Menua di Indonesia

    Bicara tentang menua di Indonesia, seorang dokter yang tidak ingin disebutkan namanya bercerita bahwa ada yang berubah saat dia iseng bertanya pada seorang ibu yang baru pertama kali melahirkan tentang berapa jumlah anak yang diinginkan. Jika dulu mayoritas hanya akan tersenyum dan tersipu sambil menjawab ‘terserah suami’ atau jawaban-jawaban senada, maka jawaban yang belakangan kerap dia dapatkan — meski tetap sambil tersipu, adalah ‘dua anak saja’. Sebagai seorang dokter, hal ini ‘menggembirakan’ karena bisa jadi program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan sejak akhir tahun 70-an oleh Pemerintah, mulai menampakkan hasil. Menggembirakan, karena bisa jadi, kita sudah boleh bermimpi untuk bahagia menua di Indonesia.

    Benarkah demikian? Ternyata tidak juga. Kita belum tentu bisa hidup selama itu, belum tentu bisa menua di Indonesia. Karena jawaban tersebut ternyata tidak sejalan dengan data terakhir total fertility rate (TFR) di Indonesia. Di negeri ini, TFR berkisar antara 2.28, masih cukup tinggi jika dibandingkan Jepang dengan TFR 1.26, bahkan Korea Selatan lebih rendah yakni 0.72. Rerata negara di Eropa berkisar 1.38. Meski memang negara-negara Afrika masih lebih tinggi dengan kisaran di atas 4.

    Begitu juga dengan data dari Badan Pusat Statistik tentang persentase wanita berumur 15-49 tahun dan berstatus kawin yang sedang menggunakan/memakai alat KB, angka totalnya 66,10% di 2023, meningkat sedikit dari 59.98% pada 2015. Dari angka total tersebut sendiri, sebarannya pun tidak merata, tercatat di 2022 propinsi tertinggi berada di Provinsi Lampung (66,06%) dan Bangka Belitung (61,85%) dan angka terendah ada di Papua dengan tak sampai sepertiga yakni 27%. Estimasi jumlah penduduk juga menunjukkan bahwa hingga tahun 2035, diperkirakan negara ini akan dihuni oleh ±305.652.400 dari jumlah tahun 2015 yakni ±255.461.700. Dari jumlah tersebut, berapakah yang akan sanggup menua di Indonesia?

    Jumlah tersebut tentu sebenarnya merupakan sumber daya manusia yang luar biasa jika diberdayakan dengan baik dan benar oleh Pemerintah. Namun berkaca dari pengalaman sebelumnya, peningkatan jumlah penduduk ini kerap justru dianggap sebagai masalah karena tidak diiringi dengan kualitas sumber daya manusia tersebut. Sehingga alih-alih berdaya guna, generasi tersebut malah jadi beban. Tercatat jumlah penduduk miskin mencapai 23,85 juta orang Maret 2025 yang lalu. Angka ini bahkan bisa lebih tinggi jika menggunakan kriteria kemiskinan dari Bank Dunia yang bahkan menyatakan di tahun 2024 lalu, lebih dari 60% penduduk negeri ini hidup dalam kemiskinan. Padahal jika ditinjau dari kurva demografis sebaran usia, Indonesia sebenarnya punya potensi besar dengan lebih dari setengah jumlah penduduknya masih berusia di bawah 30 tahun, dan hanya sekitar 11% berusia di atas 65 tahun ke atas.

    Namun sumber daya ini tak akan berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan kesadaran akan ancaman krisis populasi yang telah melanda beberapa negara maju dengan TFR rendah. Kebijakan pengendalian kelahiran hendaknya tidak sekedar bertujuan untuk menekan lonjakan angka penduduk namun lebih kepada penekanan lahirnya generasi-generasi bangsa yang ‘sakit’. Karena jika tidak, kita akan ikut terjebak dalam krisis kehilangan generasi akibat tak adanya lagi keinginan untuk memiliki banyak keturunan. Didukung dengan angka harapan hidup yang makin tinggi, bukan tidak mungkin, masalah yang negara-negara luar tersebut hadapi, akan terjadi di negeri ini, jika kita tak bijak dalam mengambil langkah pemecahan masalah lonjakan jumlah penduduk.

    Kembali pada pertanyaan semula, dengan derasnya aliran arus liberalisme, hedonisme, dan sekularisme yang melanda negeri ini, pernikahan memang tak lagi dipandang sebagai sarana yang sejati untuk meneruskan keturunan dan memenuhi kebutuhan biologis dengan jalan yang diridhai oleh Allah SWT, melainkan hanya sebagai alternatif tujuan hidup atau sekedar check point dari berbagai tujuan hidup yang sebagian besar berkisar pada kenikmatan duniawi. Terlebih saat kini pergaulan semakin bebas, generasi muda sudah tak lagi menginginkan pernikahan karena mereka telah bisa mendapatkan pemuasan nafsu seksualnya tanpa harus menikah secara sah.

    Selain masalah tersebut, tingginya angka remaja yang melakukan hubungan seksual dini, kehamilan di luar nikah, aborsi, dan penggunaan obat-obatan terlarang tentu jadi tanda tanya tentang sejauh mana sebenarnya keberhasilan kita dalam menghasilkan generasi sehat penerus bangsa.

    Di dalam Islam, terdapat banyak ajaran tentang pergaulan laki-laki dan perempuan, misalnya ajaran pemisahan kehidupan antara laki-laki dan perempuan di luar wilayah umum, maupun aturan tentang menutup aurat, ini semua telah dilakukan sejak dini di bingkai pendidikan dalam keluarga. Jika langkah-langkah seperti ini telah dilaksanakan dengan luas, seharusnya tidak perlu lagi ada kebingungan tentang kapan pendidikan seks diajarkan, atau tentang pakaian yang layak digunakan di ruang publik. Begitu pula tentang kesehatan reproduksi, bukankah Nabi SAW sendiri telah mengajarkan dalam haditsnya bahwa wanita itu biasa dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena kemuliaan keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, maka, pilihlah yang beragama, karena kalau tidak niscaya engkau akan merugi” (HR. Bukhari No. 5090, Muslim No. 1466).

    Lebih dari itu, kita tahu masalah yang dihadapi bangsa ini lebih dari ‘sekadar’ jumlah populasi yang melonjak, atau angka kemiskinan yang naik, atau capaian kesehatan yang masih rendah, namun keterkaitan poin-poin tersebut yang hanya bisa diselesaikan dengan suatu solusi yang bersifat sistemik pula. Selain pendidikan dan sistem kesehatan yang benar, diperlukan upaya pencegahan yang tegas dari Pemerintah dalam membendung arus liberalisasi dan sekularisasi di negeri ini.

    Tidak bisa tidak, perlu aturan-aturan yang lebih tepat dalam menyasar akar permasalahan lonjakan jumlah penduduk di negara ini, bukan sekedar mengurangi angka kelahiran tentunya. Hingga kelak, seorang dokter tak lagi merasa sungkan untuk ‘menasihati’ kala pasiennya merasa ‘takut’ untuk punya anak lebih dari dua. Hingga nanti, kita semua tidak akan perlu ragu dan bimbang lagi, untuk sama-sama menua di Indonesia, Bumi Allah SWT.